Estetika Paradoks dalam Karya Fotografi Potret pada Buku Foto Berjudul Indonesian Potraits

Nusantara telah mengenal tradisi potret sejak Hayam Wuruk memimpin Majapahit dengan Mahapatih perkasanya, Gajah Mada. Kala itu, kerajaan Champa menawarkan salah seorang putrinya lewat utusan yang datang ke Majapahit untuk dijadikan permaisuri oleh Hayam Wuruk, agar kerajaannya tidak diserang oleh Majapahit. Sang utusan membawa potret diri putri junjungannya dalam lukisan di atas kain sutra. Demikian tertulis pada karya kakawin Empu Tantular. Dunia seni rupa Indonesia kemudian melahirkan tokoh-tokoh pelukis potret seperti Raden Saleh, Basuki Abdulah, dan Affandhi juga beberapa tokoh pematung potret, semacam Edhy Soenarso dan Trubus Soedarsono. Dunia fotografi bangsa ini pun menjadi saksi lahirnya  seorang pelopor fotografi potret Indonesia bernama Kassian Chepas asal Yogyakarta, yang mahir menciptakan foto potret dengan subjek dari kalangan Kasultanan Yogyakarta di seputar abad ke-19. Tradisi fotografi potret berlanjut hingga abad ke-20 yang dikembangkan oleh orang Belanda, China, dan Jepang di berbagai penjuru tanah air lewat munculnya studio-studio foto. Pada era modern, fotografi potret di Indonesia lebih mengikuti tren luar negeri, dari klasik hingga gaya potret ala Agan Harahap yang kaya akan olah digital imaging. Dunia fotografi Indonesia era modern mengenal karya-karya foto potret Indra Leonardi dalam buku foto berjudul Indonesian Portraits. Buku foto ini menyajikan figur-figur terkenal, seperti Ki Manteb Sudarsono, Nasirun, Goenawan Mohamad, Nia Dinata, W.S. Rendra, dan 103 tokoh lainnya. Indra Leonardi, pemilik Leonardi Portraiture, anak usaha dari Kingfoto studio pada segmen premium, tak hanya mengabadikan wajah (pas-photo) sebagai bentuk nyata diri subjek, tetapi menampilkan separuh badan bahkan keseluruhan tubuh. Diciptakan dari berbagai jenis posisi (pose), dalam varian ukuran (size/ format), dengan ragam sisi pandang (angle), terdiri dari beberapa nuansa pewarnaan dan berbagai properti, sehingga figur dapat hadir sebagai sosok tunggal yang merepresentasikan “bayangannya” atau menampilkan citranya sendiri. Untuk membaca apakah figur-figur dalam karya foto potret Indra Leonardi telah berhasil menghadirkan yang transenden, peneliti menggunakan model kajian estetika paradoks milik Jacob Sumardjo. Estetika paradoks merunut pada pemikiran-pemikiran masa lalu nenek moyang kita lewat artefak budaya dan seni, serta mengupas tentang benda-benda seni yang berasal dari konteks berfikir kolektif pra-modern. Oleh karena itu, peneliti memilih foto Ki Manteb Sudarsono yang mengenakan properti berupa citra dari beberapa pahlawan zaman dulu dalam mitos-mitos leluhur.